Bagikan:

YOGYAKARTA - Nikah mut'ah, atau yang sering disebut sebagai nikah kontrak, adalah salah satu bentuk pernikahan yang masih menjadi perdebatan dalam Islam. Mengapa bisa demikian? Mari mengenal nikah mut'ah lebih dalam.

Meskipun memiliki dasar historis dalam beberapa interpretasi ajaran Islam, nikah mut'ah menuai kontroversi Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai nikah mut'ah, termasuk sejarah dan pandangan hukum terkait dengannya.

Mengenal Nikah Mut'ah

Dilansir dari laman NU Online, praktik pernikahan dengan batasan waktu, yang sering disebut sebagai kawin kontrak, telah menjadi topik yang berulang kali muncul dalam diskusi publik.

Bentuk pernikahan ini, di mana pasangan sepakat untuk hidup bersama dalam periode tertentu seperti satu bulan atau satu tahun, sering kali dikaitkan dengan konsep nikah mut'ah dalam konteks hukum Islam.

Menurut pandangan normatif yang dianut oleh mayoritas ulama Sunni, nikah mut'ah telah dinyatakan tidak berlaku hingga akhir zaman. Dengan kata lain, praktik kawin kontrak dianggap haram dalam pandangan mereka, seperti yang dijelaskan dalam Hasyiyah I'anatuth Thalibin:

"Perlu diketahui bahwa nikah mut'ah pernah diperbolehkan, namun kemudian dihapuskan saat Perang Khaibar. Setelah itu, praktik ini diizinkan kembali pada masa Fath (penaklukan Makkah), namun kemudian dilarang lagi pada periode yang sama, dan larangan ini berlaku hingga Hari Kiamat. Awalnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat, namun kemudian tercapai kesepakatan bahwa mut'ah diharamkan." (Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I'anatuth Thalibin, jilid IV, hal. 144).

Baca juga artikel yang membahas Sholawat Sulthon, Amalan yang Melelahkan Malaikat Pencatat Pahala

Pernah Dilegalkan Nabi

Terdapat pandangan yang melegitimasi nikah mut'ah, bersandar pada interpretasi ayat 24 surat An-Nisa. Ayat tersebut, yang berbunyi "maka istri-istri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah mereka sebagai suatu kewajiban,"

Ayat tersebut kemudian dipahami bahwa kata "ujrah" (upah) merujuk pada kompensasi kontrak, bukan mahar pada umumnya.

Selain itu, mereka mengacu pada riwayat hadis yang menceritakan bahwa pada masa Perang Tabuk, Nabi Muhammad SAW mengizinkan para sahabat untuk melakukan pernikahan dengan sistem kontrak waktu.

Pada masa awal perkembangan Islam, nikah mut'ah pernah menjadi praktik yang diizinkan, terutama dalam kondisi tertentu seperti saat perang.

Bermula ketika para sahabat Nabi Muhammad SAW pergi berperang tanpa membawa istri, mereka menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan biologis mereka.

Beberapa sahabat bahkan mempertimbangkan untuk melakukan pengebirian diri. Namun, Nabi Muhammad SAW memberikan solusi alternatif dengan memperbolehkan nikah mut'ah dengan perempuan setempat.

Hal ini tercermin dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud, yang menceritakan:

"Kami pergi berperang bersama Nabi SAW dan tidak membawa istri kami. Kami bertanya, 'Apakah sebaiknya kami mengebiri diri kami?' Rasulullah SAW melarangnya. Kemudian beliau memberi kami keringanan untuk menikahi seorang perempuan dengan sehelai kain (untuk jangka waktu tertentu). Setelah itu, beliau membaca ayat, 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang telah Allah halalkan untukmu.'" (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain yang serupa, disebutkan bahwa "Rasulullah SAW melarang kami dari mengebiri diri kami, kemudian beliau memberi kami rukhshah (keringanan) untuk menikahi seorang perempuan dengan tenggat waktu tertentu dengan memberikan sesuatu kepadanya."

Selain mengenal nikah mut'ah, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Ingin tahu informasi menarik lainnya? Jangan ketinggalan, pantau terus kabar terupdate dari VOI dan follow semua akun sosial medianya!